Sutardji
Calzoum Bachri
SC Bachri
Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Rengat ,
Indragiri Hulu , 24 Juni 1941; umur 72
tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka.
Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum
Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas
Sosial Politik Jurusan Administrasi
Negara, Universitas Padjadjaran , Bandung .
Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri
mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan
di Bandung, kemudian sajak-
sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan
Budaya Jaya serta ruang
kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji
memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu
perpuisian Indonesia. Terutama karena
konsepsinya tentang kata yang hendak
dibebaskan dari kungkungan pengertian dan
dikembalikannya pada fungsi kata
seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum
Bachri mengikuti Poetry Reading
International di Rotterdam. Kemudian ia
mengikuti seminar International Writing
Program di Iowa City, Amerika Serikat dari
Oktober 1974 sampai April 1975.
Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang
unik dan memikat dalam
pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry
Aveling ke dalam bahasa Inggris
dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in
Meditation ( Calcutta, India), Writing from
the World ( Amerika Serikat ), Westerly
Review (Australia) dan dalam dua antologi
berbahasa Belanda : Dichters in Rotterdam
(Rotterdamse Kunststichting, 1975)
dan Ik wil nog duizend jaar leven,negen
moderne Indonesische dichters (1979).
Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah
South East Asia Writer Awards atas
prestasinya dalam sastra di Bangkok ,
Thailand .
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang
lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri
dari periode penulisan 1966 sampai 1979.
Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan
secara jelas pembaharuan yang dilakukannya
terhadap puisi Indonesia modern.
PARA
PEMINUM
Karya:
Sutardji Calzoum Bachri
di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
HERMAN
Karya:
Sutardji Calzoum Bachri
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam
di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di
tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di
tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di
awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di
diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan
takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong
tolongtolongtolongtolongngngngngng!
W.
S. Rendra
WS Rendra
Nama lahir Willibrordus Surendra Bawana
Rendra. Nama lain W.S.
Rendra Rendra. Lahir 7 November
1935 Solo , Indonesia. Meninggal 6
Agustus 2009 (umur 73)
Jakarta
, Indonesia.
Pekerjaan
Aktor , Penyair
Rendra
(Willibrordus Surendra Broto Rendra) ; lahir di Solo , Jawa Tengah , 7 November 1935 –
meninggal di Depok , Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah
penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan
Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya
kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di
Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif
menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
MATA
HITAM
karya
: WS Rendra
Dua mata hitam adalah matahati yang biru
dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu.
Rindu bukanlah milik perempuan melulu
dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa
malu.
Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi
kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi.
Dua mata hitam adalah rumah yang temaram
secangkir kopi sore hari dan kenangan yang
terpendam.
Chairil
Anwar
Charil Anwar
Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera
Utara , 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta , 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai " Si
Binatang Jalang "
(dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia . Ia diperkirakan
telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin ,
ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi
modern Indonesia.
Chairil
lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta ) dengan
ibunya pada tahun 1940 , dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah
mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942 , Chairil terus menulis. Pusinya
menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian,
individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
AKU
BERADA KEMBALI
Karya
: Chairil Anwar
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa
lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan
Lebih lengang pula ketika berada antara yang
Yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
Ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang guruh
1949
Sapardi
Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono (born 20 March, 1940 in Surakarta,
Central Java) is a famous Indonesian poet known for lyrical poems. His best known works include Hujan
Bulan Juni and Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari (Walking to the West in the Morning). He is a
professor at the University of Indonesia, teaching Literature in the Faculty of Letters,
University of Indonesia.
PADA
SUATU HARI NANTI
Karya:
Supardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Emha
Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di
kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur , 27 Mei 1953 ; umur 60 tahun) adalah
seorang tokoh intelektual
yang mengusung napas Islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15
bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
(UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor karena melakukan ‘demo’ melawan pimpinan
pondok karena sistem pondok yang kurang baik pada pertengahan tahun
ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I.
Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking , dikenal sebagai seniman film,
panggung, serta penyanyi. Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro , Yogyakarta antara 1970 – 1975 ketika belajar
sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi , seorang sufi yang
hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia
juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina ( 1980), International
Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat ( 1984 ), Festival Penyair
Internasional di Rotterdam , Belanda ( 1984 ) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat,
Jerman ( 1985).
Dalam
kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas
yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian , agama , pendidikan politik, sinergi ekonomi guna
menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan,
ia juga berkeliling
ke berbagai wilayah nusantara , rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Gamelan
Kiai Kanjeng , dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area
luar gedung . Selain itu ia juga menyelenggarakan acara-acara bersama Jamaah
Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail
Marzuki . Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan
yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar
kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali dan sudah
beralngsung lebih dari 10 tahun. Di kota lain juga masih mempunyai agenda rutin bulanan seperti Mocopat
Syafaat Yogyakarta,
Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya,
Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, dan masih ada beberapa lain
yang bersifat tentative namun sering seperti di Bandung, Obro Ilahi
Malang,Hongkong dan Bali. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas
nilai-nilai, pola-pola komunikasi , metoda perhubungan kultural, pendidikan cara
berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
DARI
BENTANGAN LANGIT
Karya
:Emha Ainun Najib
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan
tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang
sekejap.
1997
Ajip
Rosidi
Ajip Rosidi
Pekerjaan Sastrawan, Sastrawan Sunda,
Budayawan, Dosen, Redaktur. Kebangsaan Indonesia. Suku bangsa Sunda.
Kewarganegaraan
Indonesia.
Aliran
sastra Cerpen, Puisi, Cerita Anak Tema Sastra Indonesia, Sastra Sunda. Penghargaan Hadiah Sastera Nasional 1955-1956 untuk puisi. Hadiah Sastera
Nasional 1957-1958 untuk prosa.Hadiah Seni dari Pemerintah RI 1993. Kun Santo Zui Ho Sho dari pemerintah Jepang Anugerah Hamengku
Buwono IX 2008
Pasangan
Fatimah Wirjadibrata
Anak
Nunun Nuki Aminten ( 1956 ) Titi Surti Nastiti ( 1957 ) Uga Percéka ( 1959)
Nundang
Rundagi ( 1961)
Rangin
Sembada ( 1963 )
Titis
Nitiswari ( 1965).
Ajip
Rosidi (baca: Ayip Rosidi), (lahir di Jatiwangi, Majalengka , Jawa Barat, 31 Januari 1938 ;
umur 75 tahun) adalah sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen, pendiri,
dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan
Rancage.
HANYA DALAM
PUISI
Karya: Ajip Rosidi
Dalam kereta api
Kubaca puisi: Willy dan
Mayakowsky
Namun kata-katamu
kudengar
Mengatasi derak-derik
deresi.
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan
gunung-gunung
Lalu sajak-sajak
tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang
terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit
dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari
mencari Hawa.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga
ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada
situasi?
Dalam lembah
menataplah wajahmu
yang sabar.
Dari lembah
mengulurlah tanganmu
yang gemetar.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari
besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir:
Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.
Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
1968
Asrul
Sani
Asrul Sani
Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatera Barat, 10
Juni 1926 – meninggal di Jakarta , 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan dan sutradara
film ternama asal
Indonesia.[1] Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari
Pemerintah RI.
Asal
usul Asrul Sani
merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair
Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang,
merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam
Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.
SURAT
DARI IBU
Karya:
Asrul Sani
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas !
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas !
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang kesarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku !
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam !
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”
Eka
Budianta
Eka Budianta
Karya-karya Eka Budianta pernah dimuat di
majalah Semangat , Yogyakarta , dan di harian ''Sinar Harapan'', Jakarta . Buku puisi pertamanya terbit pada tahun 1976 berjudul Ada. Prof. Dr. A
Teeuw dalam bukunya Modern Indonesian Literature II (The Hague, 1979) meramalkan
Eka Budianta akan menjadi nama besar dalam dekade 1980an. Bukunya Cerita di
Kebun Kopi ( Balai Pustaka, 1981) dinyatakan oleh pemerintah sebagai bacaan di
sekolah. Sedangkan kumpulannya Sejuta Milyar Satu dipilih sebagai bahan
literatur tambahan dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta
(1985). Karya lainnya
dalam bentuk puisi, yakni:
·
Bang-Bang Tut ( 1976 )
·
Bel ( 1977 )
·
Rel ( 1978 )
·
Sabda Bersahut Sabda, antologi puisi bersama
Azmi Yusoff ( 1978 )
·
Dari Negeri Poci, antologi puisi ( 1993 )
·
Rumahku Dunia ( 1993 )
·
Dari Negeri Poci 3, antologi puisi ( 1996 )
sejumlah puisinya dipilih untuk antologi
puisi oleh Linus Suryadi AG dalam Tonggak 4 (1987).
Menggebrak
Dunia Mengarang (1992), adalah buku panduan untuk calon penulis. Satu kumpulan
esainya yang ditulis berbentuk surat saat ia berada di luar negeri diberi judul
Mengembalikan Kepercayaan Rakyat (1992). Satu kumpulan cerpen Api Rindu (1987).
Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dimuat dalam
Walking Westward in the Morning , dan On Foreign Shores , antologi puisi (1990). Bersama F.Rahardi
mendirikan Yayasan Pustaka Sastra, yang mengkhususkan diri menerbitkan
karya sastra. Fajar Sastra merupakan kumpulan dwibahasanya yang dipadukan
dengan foto-foto Boedihardjo, diterbitkan Pustaka Sastra awal 1997.
SEBELUM
LAUT BERTEMU LANGIT
karya
: Eka Budianta
Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.
Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja
Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya
Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu
Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi
Jakarta, 2003
D.
Zawawi Imron
D. Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang
, Kabupaten Sumenep , Beliau mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di
Taman Ismail Marzuki ,
Jakarta pada tahun 1982. Sejak tamat Sekolah Rakyat, beliau melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi,
Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami
Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk
Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi
terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. Pada 1990
kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku
puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara
menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI
ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris, Belanda dan Bulgaria. Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi Imron
banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS.
Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta.
Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Pembicara Seminar Majelis Bahasa
Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei
Darussalam (Maret 2002). Selain itu Beliau juga dikenal sebagai Budayawan
Madura. Pada tahun 2012
beliau menerima penghargaan " The S.E.A Write Award" di Bangkok Thailand,
The S.E.A. Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan
Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN. Selain itu pada tahun 2012,
di bulan Juli, beliau juga meluncurkan buku puisinya yang berjudul
"Mata Badik Mata Puisi" di Makassar, kumpulan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar. Hingga kini,
Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran
sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
IBU
Karya:
D. Zawawi Imron
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama
reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap
lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan
sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan
melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua
bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang
pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang
bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
Taufiq
Ismail
Taufiq Ismail
Taufiq Ismail gelar Datuk Panji Alam
Khalifatullah , (lahir di Bukittinggi , Sumatera Barat, 25 Juni
1935 ; umur 78 tahun), ialah seorang penyair dan sastrawan Indonesia. Taufiq
Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti
Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa
SD di Solo , Semarang , dan Yogyakarta , SMP di Bukittinggi, dan SMA di
Pekalongan . Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia
telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri,
ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis
peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor
pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya
di sebuah pulau di Selat Malaka.
SEBUAH
JAKET BERLUMURAN DARAH
karya:
Taufik Ismail
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal
perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota,
pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
Tugas Ilmu Budaya Dasar Tulisan
Tantri Nur Jayanti
1EA02
18213792
Id.m.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail
Id.m.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
Id.m.wikipedia.org/wiki/D._ Zawawi_Imron
Id.m.wikipedia.org/wiki/Eka_Budianta
Id.m.wikipedia.org/wiki/Asrul_Sani
Id.m.wikipedia.org/wiki/Ajip_Rosidi
Id.m.wikipedia.org/wiki/Supardi_Djoko_Damono
Id.m.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar
Id.m.wikipedia.org/wiki/WS_Rendra
Id.m.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri
http://secarikpengetahuan.blogspot.com/2013/05/kumpulan-puisi-dari-10-pengarang-puisi.html?m=1
0 komentar:
Posting Komentar